Silahkan lihat disini, ya ?

bisnis invest hemat dan murah

ANda Cukup GAbung, Biar nanti sistem yang bekerja untuk anda, oke klik disini

peluang usaha

Minggu, 18 Desember 2011

"Semut"

Semut di seberang lautan kelihatan, Gajah di pelupuk mata tak tampak”, begitulah kata peribahasa yang sering kita dengar, Semut dan Gajah diperbandingkan untuk menyatakan perbedaan yang mencolok antara dua keadaan, dua kondisi yang saling bertolak belakang secara diametral, semut mewakili binatang kelas bawah, komunitas yang disepelekan, termarginalkan. Sementara Gajah mewakili sosok biantang yang mewakili tubuh paling besar dalam ukuran pisik, secara terminologis bisa juga menjadi lambang kaum kapitalis atau yang berkuasa. Dua keadaan yang saling bertolak belakang tersebut, yang satu paling kecil sementara satunya lagi yang paling besar, menjadi sebab seolah semut menjadi binatang yang tidak berarti, tetapi apakah demikian ?
Dalam ensiklopedia islam, semut mempunyai kedudukan istimewa, terbukti dengan diabadikannya semut sebagai salah satu surat dalam dalam Al-Qur’an, dengan nama An-Naml” yang artinya semut. Sebagai binatang dari golongan Bulu taneuh  atau kelas bawah, yang paling kecil, yang pembicaraannya mampu didengar oleh Nabi  Sulaeman, sesungguhnya ada I’tibar yang dapat dipetik oleh manusia, dari kisah percakapan semut kepada rekannya, yaitu pada suatu ketika Nabi Sulaeman bersama dengan pasukannya melewati sebuah lembah, seekor semut yang bertugas sebagai pengintai memberikan komando untuk segera menyingkir dengan mengatakan Hai sekalian semut-semut, masuklah kalian semua kedalam sarangmu, supaya kalian tidak terinjak oleh Sulaeman dan tentaranya, sedang mereka tidak mengetahuinya“ (QS.An-Naml:18), pernyataan semut tersebut menjadi  pelajaran, bahwa sekalipun  dalam pandangan kita itu diremehkan, menganggapnya hanya seekor binatang kecil, bukan apa-apa, ternyata sudah sejauh itu memiliki pemahamana tentang sebuah aturan yang mengatur kehidupan mereka bahkan sudah paham akan pentingnya dunia intelegen, spionase.
Semut yang termasuk dalam keluarga serangga ini, mempunyai banyak keunggulan, sifat gotong royong adalah salah satu ciri khas masyarakat semut, sehingga menjadi identik dengan sikap pekerja keras, karena itu, dengan tak ragu dijadikan motto Depnaker era Soedomo, yang telah menjadikan semut hitam sebagai lambang produktivitas bagi bangsa Indonesia. hal tersebut dapat kita buktikan dengan mengamati secara seksama, bagaimana semut-semut ini “bermasyarakat”, mereka kompak bekerja sama mencari, mengumpulkan dan mengangkut makanan secara gotong royong untuk dibawa kesarangnya, yang mungkin dipersiapkan sebagai cadangan perbekalan mereka, dan itu semua adalah I’tibar untuk jadi bahan renungan mahluk berakal, manusia.Bahkan dalam dunia medis, sarang semut diakui mempunyai kelebihan dalam memberantas penyakit kanker ganas, seperti yang dikemukan oleh  Qui Kim Tran dari University National of Hochminch City  dan 3 rekannya, seperti yang dikutip dalam Biology Pharmaceutical Bulletin,
Semut juga menjadi simbol sikap perlawanan yang tertindas, baik secara pribadi, perseorangan atau secara berkelompok , dalam artian masyarakat tertentu, sehingga dikatakan dalam pribahasa sunda “ dihina-hina teuing mah, sireum oge ngalawan .. Coba  kita amati sekali lagi, bagaimana sikap binatang kecil semut, yang tak “tahu diri “ini bertindak ketika kita mencoba  mengusiknya, dalam keadaan posisi terjepit, kepepet semut itu akan memperlihatkan taringnya, dengan cara menggigit semampunya, padahal sekali pencet saja, oleh kita, beberapa ekor semut  akan mati…! Tapi mereka bersikap jantan, tidak takut, mereka tunjukan keberanian itu, sekalipun lawannya mungkin berpuluh atau beratus dan beribu kali lipat besarnya, dan semut ‘selimbada” atau “sireum kararangge”, kata orang sunda bisa menjadi bukti keberanian semut tadi.
Sementara semut “marabunta”, yang hidup di benua Afrika, mungkin tergolong semut yang paling ganas di dunia, apabila sedang melewati sebuah tempat dengan berjuta – juta jumlahnya akan mampu meluluhlantahkan apa yang dilaluinya, sekalian mahluk atau binatang yang dikerubutinya tidak bakal dibiarkan hidup, tak akan disisakannya kecuali tulang belulangnya…! Karena itu jangan sepelekan yang “kecil” karena  tidak ada yang besar kalau tidak ada yang kecil, tidak ada pekerjaan yang besar tanpa dimulai dari yang kecil, tidak ada pekerjaaan besar apabila dikerjakan secara bersama-sama, dan tidak ada orang besar kalau tidak ada orang kecil yang mengangkatnya menjadi besar karena itu adalah kodratNya, sunnahNya …!

Rabu, 14 Desember 2011

"“Semut”

Semut di sebrang lautan nampak
Gajah di pelupuk mata tak kelihatan.........
Begitulah orang menangkap keberadaanmu
Hadir untuk dipersandingkan
Mengurai arti menafsir makna tersibak
Masih tentangmu......
Ada gula ada semut.......
Yang sesungguhnya nampak terlihat
Solidaritas adalah kebutuhannya
Bila manusia sudah seperti itu
Maka, tak ada lagi ruang mencuat
Entah kemiskinan....kelaparan atau kesenjangan
Karena semua memberi, semua berbagi...
Bila pikiran selalu terbius pada pekerjaan dan hasil yang besar
Maka, tak perlu proses dan tak butuh lagi kesabaran
Semua menjadi instan........
Bila semua menyepelekan yang kecil
Lantas darimana kebesaran itu berawal ?

Sabtu, 10 Desember 2011

"Pilkada Dan Dewan"


Pilkada, Pilkadal dan Pilkadasung adalah istilah yang telah memperkaya perbendaharaan dunia politik dan pemerintahan sejak diberlakukannya UU Tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, frekwensi pemakaiannya semakin meningkat seiring dengan diterapkannya UU tsb. Semua elemen masyarakat mulai lapis atas hingga yang paling bawah, tak luput membicarakannya, pembahasan yang intens menyangkut validitas, mekanisme, accountability, system  dan konstalasi  event tersebut, jadi bahasan hangat ‘para pakar”, yang dikatagorikan sebagai kelompok atas, sementara lapis bawah sesuai dengan kapasitasnya, lebih menyoroti kemungkinan adanya “bingkisan” atau “cangkedong” daripada menyoal bagaimana sistem itu berjalan.
PILKADA, PILKADAL dan PILKADASUNG merupakan amanat UUD 1945, Ps 18 ayat (4) dan ps 22E ayat(2) yang memuat ketentuan bahwa “Kepala daerah dipilih secara demokratis”, yang kemudian dipahami oleh DPR dengan pengertian “....dipilih secara langsung oleh Rakyat di daerah yang bersangkutan ( Ps 25 ayat (5) UU No 32 Tahun 2004. Karena dipilih secara langsung tanpa harus lewat perwakilan, yang bernama DPRD, maka, Rakyat dapat memilih calon yang dikehendakinya tanpa harus merasa dibohongi, tidak lagi membeli kucing dalam karung.
Sebagai akronim dari pemilihan Kepala daerah secara langsung, istilah “PILKADA” lebih sering dipakai orang, mungkin ini ada korelasi implisit dengan program hemat energi, dibanding dengan istilah PILKADA dan PILKADASUNG, Pilkada lebih irit hurup, tidak lebih....! he....he.....!
Sebenarnya singkatan PILKADASUNG, terasa lebih mengena dan pas, tetapi untuk saat ini. Momentnya kurang pas, karena maknanya lebih bernuansa “terbelakang” (underdeveloped), lebih menjurus kepada “imperiority –complex”, sehubungan dengan masih banyak ditemukannya penderita penyakit “busung lapar” minus “busung kenyang”. Jadi, disamping hurupnya terlalu banyak, juga tidak mewakili spirit perbaikan nasib. Sementara kata “PILKADAL, sepintas mengandung makna peyoratif, tidak mencerminkan reformasi, yang bercitrakan semangat serba bersih, maka, pemilihan kata PILKADAL kurang mewakili kejujuran, karena mengandung  makna kelicikan. Bukankah kata “kadal” sering diartikan kelicikan, kebohongan atau kecurangan ? seperti dalam kalimat: “Tahu rasa, gue kadalin, lu ! “ atau “ sialan , aku dikadalin....!”.
Begitupun kita seolah “dikadalin” ketika heboh issue “money politic” saat berlangsung pemilihan Kepala Daerah,  sebelum diberlakukannya UU No 32/2004, dimana pada saat itu sang Dewan telah diberi legalitas untuk dan atas nama rakyat memilih Kepala Daerah yang “sesuai”, namun di sisi lain, pendelegasian wewenang tersebut tidak memuaskan hati rakyat, karena ternyata “Suara Dewan bukan Suara Rakyat”, sebab apa yang telah dilakukan Dewan tidak sejalan, “teu sapagodos” dengan apa yang dikehendaki rakyat atau dalam bahasa para fukoha”Apa yang dimaksud tak terwujud, dan apa yang terjadi tak dimaksud”, faktanya masyarakat lebih diposisikan sebagai penonton, tidak dalam kapasitas sebagai “decision maker”, maka, ketika masyarakat merasa tidak puas,  hanya bisa melemparkan caci maki  dan uneg-unegnya pada Dewan, tidak lebih. Dan ketika pendulum bergeser pada masyarakat sebagai penentu keputusan, sebagai “buyer” atas calon yang muncul, ternyata bayang – bayang permainan hanya bergeser tempat dari gedung Dewan ke “tempat lapang” ditambah gedung KPUD. Banyaknya ketidakpuasan masyarakat dari daerah yang telah menyelenggarakan PILKADA, yang dialamatkan pada KPUD sebagai penyelenggara, walau dalam kwalitas yang berbeda memperjelas sinyalemen ini.
Setelah 32 tahun rakyat Indonesiua terbelenggu dalam kejumudan piolitik, terpasung dalam homogenitas – sentralistik, dan menabukan perbedaan pendapat, telah mewariskan budaya apatis pada sebagian besar masyarakat kita,  bahwa kesadaran politik dalam batas – batas tertentu masih menganut pola mental lama, “Keterliban” sebagian besar masyarakat  dalam menyikapi sebuah pesta politik yang sesungguhnya, yang menafikan iming- iming demi sebuah pilihan yang berdasarkan hati nurani. Karena itu, tidak heran bila calon yang bertarung membutuhkan cukup banyak uang demi sebuah atribut kemenangan. Modal uang tersebut bukan saja untuk kepentingan ‘biaya administrasi”  tapi juga sebagai sebuah “produk” yang akan dilempar kepasaran, agar dikenal  “dipikawanoh”oleh masyarakat dan dipilih diperlukan biaya promosi yang tidak sedikit, ini karena segmen pasar dan ruang lingkup pemasarannya tidak sebatas ruangan Dewan Yang Terhormat, tapi meliputi luas wilayah yang hendak dipimpinnya.
Karena itu, PILKADA bukan saja telah menawarkan paradigma baru dalam sistem pemilihan Kepala daerah tapi juga mempeluas ruang lingkup “permainan”. Sementara tentang Dewan sendiri, kita tetap optimis, dengan kemampuan kreativitasnya yang sudah terlatih dalam mengembalikan modal kampanyenya plus jasa, seperti yang terjadi dalam kasus Banggar DPR RI dan Korupsi Wisma Atlit. Jadi dijamin mereka tidak akan kehabisan lahan ....! Bila ada pertanyaan apakah rakyat akan menarik manfaat secara riil, merasa diuntungkan, tidak lagi merasa diakali dengan PILKADA ini ? bagi masyarakat sendiri, pada umumnya bahwa PILKADA adalah lebih merupakan pesta  atau hajat lokal, daripada sebagai event politik yang sebenarnya, semangat PILKADA  telah disikapi secara sukarela oleh masyarakat setelah pemilihan anggota Dewan, karena dengan PILKADA, minimal yang dulunya hanya dapat jatah kaos dan bingkisan atau ‘cangkedong” dari calon anggota dewan saja, sekarang dapat tambahan dari calon Kepala daerah ! jadi kata siapa kalau PILKADA ini tidak ada nilai tambahnya bagi masyarakat  ~??? He..he...he...!!

"Gotong Royong"

Gotong Royong, adalah ciri khas budaya Bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun menurun, dan telah menjadi nafas masyarakat. Sejak jaman “bihari”  hingga “kiwari” kita sudah mengenal istilah Gotong Royong ini, banyak bukti dan dalil yang di temukan para ahli, seperti kita baca dalam banyak literature dan begitu pula yang kita saksikan dan “sebahagian” masih kita laksanakan. Dengan Gotong Royong, pekerjaan yang begitu beratpun akan terasa ringan, enteng – enteng saja, lain hal nya apabila dikerjakan sendiri, sehingga ada pribahasa “Berat sama dipikul, ringan sama dijingjing’.
Dengan bergotong royong, bukan saja pekerjaan  itu menjadi ringan, tapi lebih dari itu, dapat memelihara, mengasah dan mengembangkan  kepekaan social. Begitu tingginya  nilai Gotong Royong ini dalam kehidupann kita, bahkan Presiden Soekarno yang diakui sebagai penggali  dan penemu Pancasila, memasukan butir “Gotong Royong” ini dalam salah satu silanya. Dia mengakui , bahwa dia hanya menggali nilai-nilai yang telah ada, yang hidup di bumi Indonesia sejak jaman nenek moyang, yaitu sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, dalam Gotong Royong  itu terkandung “nilai” dan “semangat” kebersamaan, yang merupakan sifat-sifat universal bangsa Indonesia, sehingga baginya dengan tidak ragu-ragu, mengukuhkan nama Gotong Royong  tersebut sebagai nama Badan Legeslatif dengan nama DPR-GR, melalui  Penpres No 3/1960. Begitupun ketika putrinya, Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden, dia memberi nama kabinetnya dengan nama “Kabinet Gotong Royong”. Tentunya mereka berkehendak, sebagaimana kita berkeinginan, bahwa pemberian nama Gotong Royong  tersebut akan menjadi sumber inspirassi sekaligus spirit dalam membangun Negara dan Bangsa atas dasar kebersamaan, sebagai tanggungjawab bersama, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nenek moyong kita.
Gotong Royong, dalam bahasa sunda sering disepadankan dengan kata ”sabiruyungan” yang dalam makna sempit dipersandingkan dengan kata ‘berjamaah”, yang berasal dari kosa kata Arab, yang bermakna bersama –sama, akar kata Jama’a yang berarti”berkumpul’. Dan bagi orang Islam, bukanlah hal asing mendengar dan menyebut kata berjamaah ini, terutama bila dikaitkan dengan seruan shalat, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadist bahwa “shalat berjamaah pahalanya adalah 27  kali lipat daripada dilakukan sendirian’.  Ada makna positif dalam ajakan shalat tersebut. Bila kemudian akhir-akhir ini sering kita dengar dan baca dalam banyak media massa, bahwa telah terjadi korupsi yang dilakukan secara berjamaah, artinya secara kolektif dan sadar, yang terjadi dalam banyak Instansi/lembaga, seperti Korupsi Dewan dengan APBD-gate, “Kavling-gate”, Mobilisasi – gate’ , KPU-gate” dan Kasus terbaru yang menyedot perhatian yang tidak putus-putus adalah kasus korupsi Wisma atlet yang melibatkan pihak Eksekutif dan Legeslatif. Tentu kita berharap, pemakaian kata tersebut tidak bermaksud hendak merendahkan atau melecehkan agama Islam, baik secara tersurat atau tersirat, sebab bagaimanapun juga pertama, kata tersebut secara kebetulan berasal dari khazanah perbendaharaan Islam, yang tentunya, didalamnya terkandung semangat pesan Islam, kedua, juga secara kebetulan para pelakunya adalah orang Islam, Jelas, bahwa kata berjamah pada mulanya mengandung makna luhur, suci, positif, tiba-tiba  begitu masak dalam ranah kehidupan politik harus mengalami reduksi (penuruban makna). Dengan kata lain, telah terjadi bias (deviasi) dari makna positif  menjadi makna negative, kerena itu, perlu sikap arif dari kita (kalangan Islam)  dalam pemilihan kata yang lebih sesuai, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan atau akan membiarkan diri kita  terjebak dalam retorika kata seperti kata skespiere, ya sebatas, apalah arti sebuah nama ? sama saja…..!

"Cacing"


Liukan tubuhnya bukan penari
Tanah berlumpur adalah napasmu
Kau banyak dicari dari sebagian di antara kita
Dalam banyak hal kaupun bisa memberi
Kepada kita dan para petani yang mengerti
Suburkan tanah, hancurkan baktri organik
Kau damai dalam dekapan lumpur
Dan, Meronta panik saat wangi tanah tersumpal 
Napasmu sesak tinggal menjemput ajal
Dalam keadaan yang bertolak belakang
Apa yang terjadi pada manusia tak jauh beda
Ketika dosa dan kesalahannya mulai terkuak
Kelakuannya persis seperti cacing
Selalu gelisah dan panik.............
Sebab begitulah.........
Manusia tidak berbudi damai dalam persembunyian dosanya
Sementara cacing nyaman dalam persembunyiannya
Dalam dekapan tanah basah yang menghangatkannya

Pengikut