Silahkan lihat disini, ya ?

bisnis invest hemat dan murah

ANda Cukup GAbung, Biar nanti sistem yang bekerja untuk anda, oke klik disini

peluang usaha

Sabtu, 10 Desember 2011

"Pilkada Dan Dewan"


Pilkada, Pilkadal dan Pilkadasung adalah istilah yang telah memperkaya perbendaharaan dunia politik dan pemerintahan sejak diberlakukannya UU Tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, frekwensi pemakaiannya semakin meningkat seiring dengan diterapkannya UU tsb. Semua elemen masyarakat mulai lapis atas hingga yang paling bawah, tak luput membicarakannya, pembahasan yang intens menyangkut validitas, mekanisme, accountability, system  dan konstalasi  event tersebut, jadi bahasan hangat ‘para pakar”, yang dikatagorikan sebagai kelompok atas, sementara lapis bawah sesuai dengan kapasitasnya, lebih menyoroti kemungkinan adanya “bingkisan” atau “cangkedong” daripada menyoal bagaimana sistem itu berjalan.
PILKADA, PILKADAL dan PILKADASUNG merupakan amanat UUD 1945, Ps 18 ayat (4) dan ps 22E ayat(2) yang memuat ketentuan bahwa “Kepala daerah dipilih secara demokratis”, yang kemudian dipahami oleh DPR dengan pengertian “....dipilih secara langsung oleh Rakyat di daerah yang bersangkutan ( Ps 25 ayat (5) UU No 32 Tahun 2004. Karena dipilih secara langsung tanpa harus lewat perwakilan, yang bernama DPRD, maka, Rakyat dapat memilih calon yang dikehendakinya tanpa harus merasa dibohongi, tidak lagi membeli kucing dalam karung.
Sebagai akronim dari pemilihan Kepala daerah secara langsung, istilah “PILKADA” lebih sering dipakai orang, mungkin ini ada korelasi implisit dengan program hemat energi, dibanding dengan istilah PILKADA dan PILKADASUNG, Pilkada lebih irit hurup, tidak lebih....! he....he.....!
Sebenarnya singkatan PILKADASUNG, terasa lebih mengena dan pas, tetapi untuk saat ini. Momentnya kurang pas, karena maknanya lebih bernuansa “terbelakang” (underdeveloped), lebih menjurus kepada “imperiority –complex”, sehubungan dengan masih banyak ditemukannya penderita penyakit “busung lapar” minus “busung kenyang”. Jadi, disamping hurupnya terlalu banyak, juga tidak mewakili spirit perbaikan nasib. Sementara kata “PILKADAL, sepintas mengandung makna peyoratif, tidak mencerminkan reformasi, yang bercitrakan semangat serba bersih, maka, pemilihan kata PILKADAL kurang mewakili kejujuran, karena mengandung  makna kelicikan. Bukankah kata “kadal” sering diartikan kelicikan, kebohongan atau kecurangan ? seperti dalam kalimat: “Tahu rasa, gue kadalin, lu ! “ atau “ sialan , aku dikadalin....!”.
Begitupun kita seolah “dikadalin” ketika heboh issue “money politic” saat berlangsung pemilihan Kepala Daerah,  sebelum diberlakukannya UU No 32/2004, dimana pada saat itu sang Dewan telah diberi legalitas untuk dan atas nama rakyat memilih Kepala Daerah yang “sesuai”, namun di sisi lain, pendelegasian wewenang tersebut tidak memuaskan hati rakyat, karena ternyata “Suara Dewan bukan Suara Rakyat”, sebab apa yang telah dilakukan Dewan tidak sejalan, “teu sapagodos” dengan apa yang dikehendaki rakyat atau dalam bahasa para fukoha”Apa yang dimaksud tak terwujud, dan apa yang terjadi tak dimaksud”, faktanya masyarakat lebih diposisikan sebagai penonton, tidak dalam kapasitas sebagai “decision maker”, maka, ketika masyarakat merasa tidak puas,  hanya bisa melemparkan caci maki  dan uneg-unegnya pada Dewan, tidak lebih. Dan ketika pendulum bergeser pada masyarakat sebagai penentu keputusan, sebagai “buyer” atas calon yang muncul, ternyata bayang – bayang permainan hanya bergeser tempat dari gedung Dewan ke “tempat lapang” ditambah gedung KPUD. Banyaknya ketidakpuasan masyarakat dari daerah yang telah menyelenggarakan PILKADA, yang dialamatkan pada KPUD sebagai penyelenggara, walau dalam kwalitas yang berbeda memperjelas sinyalemen ini.
Setelah 32 tahun rakyat Indonesiua terbelenggu dalam kejumudan piolitik, terpasung dalam homogenitas – sentralistik, dan menabukan perbedaan pendapat, telah mewariskan budaya apatis pada sebagian besar masyarakat kita,  bahwa kesadaran politik dalam batas – batas tertentu masih menganut pola mental lama, “Keterliban” sebagian besar masyarakat  dalam menyikapi sebuah pesta politik yang sesungguhnya, yang menafikan iming- iming demi sebuah pilihan yang berdasarkan hati nurani. Karena itu, tidak heran bila calon yang bertarung membutuhkan cukup banyak uang demi sebuah atribut kemenangan. Modal uang tersebut bukan saja untuk kepentingan ‘biaya administrasi”  tapi juga sebagai sebuah “produk” yang akan dilempar kepasaran, agar dikenal  “dipikawanoh”oleh masyarakat dan dipilih diperlukan biaya promosi yang tidak sedikit, ini karena segmen pasar dan ruang lingkup pemasarannya tidak sebatas ruangan Dewan Yang Terhormat, tapi meliputi luas wilayah yang hendak dipimpinnya.
Karena itu, PILKADA bukan saja telah menawarkan paradigma baru dalam sistem pemilihan Kepala daerah tapi juga mempeluas ruang lingkup “permainan”. Sementara tentang Dewan sendiri, kita tetap optimis, dengan kemampuan kreativitasnya yang sudah terlatih dalam mengembalikan modal kampanyenya plus jasa, seperti yang terjadi dalam kasus Banggar DPR RI dan Korupsi Wisma Atlit. Jadi dijamin mereka tidak akan kehabisan lahan ....! Bila ada pertanyaan apakah rakyat akan menarik manfaat secara riil, merasa diuntungkan, tidak lagi merasa diakali dengan PILKADA ini ? bagi masyarakat sendiri, pada umumnya bahwa PILKADA adalah lebih merupakan pesta  atau hajat lokal, daripada sebagai event politik yang sebenarnya, semangat PILKADA  telah disikapi secara sukarela oleh masyarakat setelah pemilihan anggota Dewan, karena dengan PILKADA, minimal yang dulunya hanya dapat jatah kaos dan bingkisan atau ‘cangkedong” dari calon anggota dewan saja, sekarang dapat tambahan dari calon Kepala daerah ! jadi kata siapa kalau PILKADA ini tidak ada nilai tambahnya bagi masyarakat  ~??? He..he...he...!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut