Gotong Royong, adalah ciri khas budaya Bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun menurun, dan telah menjadi nafas masyarakat. Sejak jaman “bihari” hingga “kiwari” kita sudah mengenal istilah Gotong Royong ini, banyak bukti dan dalil yang di temukan para ahli, seperti kita baca dalam banyak literature dan begitu pula yang kita saksikan dan “sebahagian” masih kita laksanakan. Dengan Gotong Royong, pekerjaan yang begitu beratpun akan terasa ringan, enteng – enteng saja, lain hal nya apabila dikerjakan sendiri, sehingga ada pribahasa “Berat sama dipikul, ringan sama dijingjing’.
Dengan bergotong royong, bukan saja pekerjaan itu menjadi ringan, tapi lebih dari itu, dapat memelihara, mengasah dan mengembangkan kepekaan social. Begitu tingginya nilai Gotong Royong ini dalam kehidupann kita, bahkan Presiden Soekarno yang diakui sebagai penggali dan penemu Pancasila, memasukan butir “Gotong Royong” ini dalam salah satu silanya. Dia mengakui , bahwa dia hanya menggali nilai-nilai yang telah ada, yang hidup di bumi Indonesia sejak jaman nenek moyang, yaitu sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, dalam Gotong Royong itu terkandung “nilai” dan “semangat” kebersamaan, yang merupakan sifat-sifat universal bangsa Indonesia, sehingga baginya dengan tidak ragu-ragu, mengukuhkan nama Gotong Royong tersebut sebagai nama Badan Legeslatif dengan nama DPR-GR, melalui Penpres No 3/1960. Begitupun ketika putrinya, Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden, dia memberi nama kabinetnya dengan nama “Kabinet Gotong Royong”. Tentunya mereka berkehendak, sebagaimana kita berkeinginan, bahwa pemberian nama Gotong Royong tersebut akan menjadi sumber inspirassi sekaligus spirit dalam membangun Negara dan Bangsa atas dasar kebersamaan, sebagai tanggungjawab bersama, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nenek moyong kita.
Gotong Royong, dalam bahasa sunda sering disepadankan dengan kata ”sabiruyungan” yang dalam makna sempit dipersandingkan dengan kata ‘berjamaah”, yang berasal dari kosa kata Arab, yang bermakna bersama –sama, akar kata Jama’a yang berarti”berkumpul’. Dan bagi orang Islam, bukanlah hal asing mendengar dan menyebut kata berjamaah ini, terutama bila dikaitkan dengan seruan shalat, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadist bahwa “shalat berjamaah pahalanya adalah 27 kali lipat daripada dilakukan sendirian’. Ada makna positif dalam ajakan shalat tersebut. Bila kemudian akhir-akhir ini sering kita dengar dan baca dalam banyak media massa, bahwa telah terjadi korupsi yang dilakukan secara berjamaah, artinya secara kolektif dan sadar, yang terjadi dalam banyak Instansi/lembaga, seperti Korupsi Dewan dengan APBD-gate, “Kavling-gate”, Mobilisasi – gate’ , KPU-gate” dan Kasus terbaru yang menyedot perhatian yang tidak putus-putus adalah kasus korupsi Wisma atlet yang melibatkan pihak Eksekutif dan Legeslatif. Tentu kita berharap, pemakaian kata tersebut tidak bermaksud hendak merendahkan atau melecehkan agama Islam, baik secara tersurat atau tersirat, sebab bagaimanapun juga pertama, kata tersebut secara kebetulan berasal dari khazanah perbendaharaan Islam, yang tentunya, didalamnya terkandung semangat pesan Islam, kedua, juga secara kebetulan para pelakunya adalah orang Islam, Jelas, bahwa kata berjamah pada mulanya mengandung makna luhur, suci, positif, tiba-tiba begitu masak dalam ranah kehidupan politik harus mengalami reduksi (penuruban makna). Dengan kata lain, telah terjadi bias (deviasi) dari makna positif menjadi makna negative, kerena itu, perlu sikap arif dari kita (kalangan Islam) dalam pemilihan kata yang lebih sesuai, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan atau akan membiarkan diri kita terjebak dalam retorika kata seperti kata skespiere, ya sebatas, apalah arti sebuah nama ? sama saja…..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar